Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian
rakyat yang ada di Provinsi Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri
memiliki dua pengertian, yakni alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang
terbuat dari kawat baja atau besi dan ada juga yang menyebutkan bahwa
Tarawangsa nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
Tarawangsa
lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka
Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat
musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan
adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari
tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut
dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya
lebih tinggi daripada rebab.
Sebagai
alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan
tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada
pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan
jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik,
tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa
dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut jentreng.
Kesenian
Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat,
yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya
Selatan), Banjaran (Bandaung), dan Kenekes (Banten Selatan). Dalam kesenian
Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat
tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling,
juga nyanyian.
Alat
musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang
disetting ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa
di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan
lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu
pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan,
Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu
pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa
digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan
atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur,
Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan,
Bangun, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih,
Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Reundeu,
Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang
Gadung, Onde, Legon (koromongan), dan Panglima.
Lagu-lagu
Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu
Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di
antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat,
Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu
Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan,
Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.
Sebagaimana
telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari
tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel,
Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan
Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither.
Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat
gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa
terbuat dari kayu Kenanga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel,
tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan
jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu).
Pemain
tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan
satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki,
dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan
biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang
berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang
melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula
Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas
ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang
ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak
terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan
Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi.
Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata,
melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan
si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance
(tidak sadarkan diri).
0 komentar
Posting Komentar